Buscar

Páginas

based on true story

Terbenamnya sang Matahari


A
ku  merasa  orang  yang paling bahagia di dunia, karena saat ini aku melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang sangat aku cintai, pemuda itu  memiliki  semuanya  yang di impikan gadis-gadis  seusiaku, pemuda  itu tampan, kaya  dan bermasa  depan  cerah, gadis mana  yang  tidak  mau  dipersunting  pemuda seperti itu.
Ibarat  Cinderella  akulah  putri  yang terpilih itu. Hari menjelang pernikahan kurasakan dengan penuh harap, cemas, dan berbagai harapan lain yang  tentu  saja mimpi yang indah tentang masa depan. Kini tibalah hari pernikahan yang kutunggu-tunggu sepanjang hidupku. Pesta pernikahanku begitu meriah, aku memakai  gaun hijau yang  sangat indah bak putri raja yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, hidangan  pesta begitu mewah, demikian  juga dengan gedung yang megah dan tamu-tamu yang terhormat turut menghadiri pernikahanku, namun semua itu bukan apa-apa bagiku, karena calon suamiku lah yang paling utama, dia ibarat pangeran tampan yang datang dari langit untuk mempersunting gadis miskin seperti aku ini.
Senyumnya yang khas selalu menghiasi bibirnya yang tipis, putih kulitnya seakan kontras dengan hiasan gedung yang bernuansa hijau yang merupakan warna favoritnya, hidungnya yang mancung dan tinggi badannya yang semampai begitu serasi dengan setelan jas berwarna hitam.
Aku begitu terpana dibuatnya. Saaat itulah aku merasa orang yang paling bahagia di dunia. Saat mengucap ijab kabul, legalah hatiku karena akhirnya aku menjadi istrinya yang sah. Senyum bahagia terukir di bibir kami berdua. Lantunan doa-doa seakan bergema diruang hati kami dan menambah rasa syukur yang tak terhingga pada Sang Khalik penguasa alam semesta atas segala nikmat-Nya.
“Lastri, terima kasih  sudah mau menjadi istriku”   ucap mas Faris lembut yang kini telah menjadi suamiku disela-sela tamu yang datang menyalami kami.
Aku tersipu malu, ”sama-sama”  ucapku pelan.
Dalam sejarah kehidupanku inilah puncaknya, kubayangkan aku dan suamiku mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh kebahagiaan, Aku pun tersenyum semeringah.
Suamiku menghadiahkan rumah mewah untukku sebagai tanda terima kasihnya , karena menurutnya dialah yang paling beruntung maendapatkan aku. Aku begitu tersanjung. Hatiku seperti terbang kelangit mendengar pujiannya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih banyak kami seakan hidup berdua di dunia ini. Ketika kulontarkan hal itu kepada suamiku dia tersenyum dan bercanda.
“Yang lain ngontrak dong,” katanya. Aku tertawa terkekeh-kekeh mendengar gurauannya yang menurutku sangat lucu.
Genap tiga bulan kami menikah, akhirnya aku mengandung, suamiku sangat bahagia dan kali ini dia menghadiahkan mobil jaguar seri terbaru sebagai balasan terima kasihnya kepadaku. Aku terkejut sekaligus senang, Sungguh hal yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku yang selalu naik bis kota, kini naik mobil yan tak pernah ku impikan selam hidupku.”Alhamdulillah ya Rabb,” kembali aku bersyukur dan bersujud.
Suamiku sangat mengaharapkan janin yang kukandung ini adalah laki-laki yang akan mewarisi kekayaannya dan penerus perusahaannya kelak. Setiap hari tak henti-hentinya dia bercerita masa depan kami yang indah dengan anak-anak kami yang lucu.
Dari awal aku mengandung, suamiku bersikeras agar aku tidak USG. Menurut beliau ini bagian dari surprise, akupun mengikuti keinginan beliau da telaten memeriksakan kandunganku pada dokter kandungan pilihan suami dan tidak melakukan USG.
Akhirnya tibalah saatnya aku untuk melahirkan, suamiku adalah suami yang siaga, dengan sigap suamiku membawaku ke rumah sakit dengan fasilitas terbaik dan tenaga medis ternama. Aku melahirkan dengan pantauan penuh dari tim medis.
Alhamdulillah aku melahirkan secara normal. Ketika aku melahirkan, ternyata yang lahir bukan bayi laki-laki seperti yang selama ini diharapkannya. Aku melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik, terlintas di wajah suamiku ada sedikit kekecewaan, anamun segera beliau sembunyikan ketika menatapku. Sambil mengelus keningku yang kelelahan setelah melahirkan, ia mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih, kau sudah memberikanku keturunan” ucapnya lirih, ada nada bahagia sekaligus pahit dalam ucapannya.
“Sama-sama Mas, berterima kasihlah pada Allah Mas,” jawabku sambil menatap matanya yang sedikit layu.
“Ya Alhamdulillah, besok kita pulang, sudah kusiapkan kamar bayi kita.”
“Mas, apakah kau kecewa bayi kita perempuan?” kembali kutatap wajahnya.
“Ti... ti tidak..aaa.. ak tidak kecewa, “ ucapnya sedikit gugup.
“Maaf, Sulastri aku ada meeting dengan klienku”  sambil terburu-buru meninggalkanku.
“Nanti aku telpon dari kantor,”ucapnya sambil menutup pintu kamar tempat aku dirawat.
Aku menitikkan air mata, inilah air mata pertama yang kuteteskan, di satu sisi aku sangat bahagia atas kelahiran anak kami tercinta, yang sangat cantik dan lucu , tapi disisi lain ada keraguan dalam hatiku akankah suamiku mencintai bayi kami ini.
Tok..tok..tok.. suara pintu diketuk, ternyata ibu dan kerabatku datang menjenguk, mereka terlihat sangat bahagia. Ibu memelukku dan menciumku inilah cucu pertama dari keluargaku sedangkan dari keluarga Mas Faris merupakan cucu kedua. Andaikan ayah dan ibu Mas Faris masih ada, mereka pasti akan merasa senang. Namun, mereka sudah lama meninggal dunia sejak Mas Faris kelas 3 SMA dan Mas Faris satu-satunya anak leleaki dari keluarga Brantio dan hanya memiliki satu orang kakak perempuan, yaitu Bu Istari.
Tak lama kemudian suster datang sambil menggendoong bayiku, wajah bayiku begitu mungil masih berwarna merah, hidungnya mewarisi hidung ayahnya, ibu langsung meraih bayi itu dan menyerahkannya untuk kuberi ASI, terdengar suara tangisannya yang merdu tanda ia sudah lapar.
“Oh bayiku kau sungguh lucu, andaikan ayahmu melihatmu sekarang, ia pasti akan jatuh hati padamu,” sambil kutatap bayiku penuh kelembutan. Memang suamiku sudah mengadzankan bayi kami, tetapi karena buru-buru beliau belum begitu dekat memperhatikan dengan seksama wajah mungil bayi kami yang lucu da menggemaskan.
Setelah kenyang akhirnya bayiku pun tertidur pulas. Ibu pun berpamitan pulang. Tinggallah aku di kamar bersama bayiku. Telepon yang kutunggu-tunggu dari suamiku tak kunjung berdering.
“Mas Faris ada dimana kau sekarang?” kataku bergumam sendiri sambil kuelus makhluk cantik yang ada dipangkuanku. Rupanya dia nyaman dipelukanku.

♫♫♫♫

Ingatanku melayang pada pertemuan pertama kami, aku adalah seorang guru honorer yang bekerja pada sebuah sekolah swasta, sedangkan Mas Faris adalah seorang pengusaha sukses di bidang eksport impor baja. Beliau penerus perusahaan ternama di Bogor. Kami berdua berasal dari dunia yang sangat berbeda dan latar belakang kami pun sangat bertolak belakang. Aku berasal dari keluarga sederhana sedangkan Mas Faris berasal dari keluarga kaya raya. Walaupun demikian aku sangat bersyukur kepada Allah atas anugerah ini.
Sebagai seorang guru aku sangat menikmatik profesiku ini, semua itu karena aku sangat senang dengan dunia anak dan aku tulus mencintai anak-anak muridku. Mas Faris pada saat itu datang mengantar keponakannya yang merupakan anak didikku, keponakannya yang sedang bermasalah kebetulan sangat dekat denganku. Aku dan  Yuyu, keponakan Mas Faris telah terjalin ikatan batin yang kuat layaknya ibu dan anak. Yuyu, anak perempuan Bu Istari adalah anak yang cerdas dan cantik, namun memiliki masalah kesehatan dan masalah yang dihadapi Yuyu adalah penyakit lemah jantung, hingga akhirnya Yuyu pun meninggal secara tiba-tiba karena serangan jantung ketika akan berangkat sekolah. Sungguh tragis di usia semuda itu Yuyu sudah tiada.
Ketika aku datang takziah ke rumah Yuyu, aku melihat Mas Faris begitu terpukul atas kematian keponakan kesayangannya. Wajah sedih sedih terlihat dimatanya, matanya sembab, saat aku mendekati jenazah Yuyu untuk terakhir kalinya, secara tidak sengaja kami bertatapan. Segera aku tundukkan pandanganku.
Saat bertatapan dengannya, tak terbesit dalam hatiku Mas Faris tertarik padaku. Aku bergegas pulang karena aku sangat terpukul atas kepergian muridku yang masih berumur 8 tahun itu. Air mataku berlinang. Sungguh aku merasa kehilangan.
Sebulan setelah kematian Yuyu, Bu Istari datang kerumahku untuk bersilaturahmi. Awalnya aku tidak merasa ada sesuatu, aku mengira beliau hanya berkunjung saja. Aku begitu kaget saat Mama Yuyu yang baik hati itu bertanya apakah aku sudah punya calon suami, aku menjawab belum. Terlihat dimatanya sangat bahagia dan beliau langsung pada pokok permasalahannya yaitu apakah aku bersedia apabila dijodohkan dengan seseorang.
Awalnya aku tidak tahu dengan siapa gerangan aku dijodohkan, ketika aku tahu orang tersebut adalah Mas Faris, aku sangat kaget antara percaya dan tidak percaya. Hatiku berkata apakah mungkin Mas Faris yang nyaris sempurna dan memiliki segalanya jatuh cinta padaku, seorang gadis sederhana dan berasal dari keluarga tidaak punya. Aku bagaikan mendapat durian runtuh jika benar Mas Faris memilihku.
“Maaf Bu, apakah adik Ibu yakin dengan keputusannya?” aku bertanya dengan penuh keraguan, tidak mungkin pemuda setampan itumenjatuhkan pilihan padaku. Gadis cantik mana yang tidak tertarik padanya, apalagi pemuda itu tajir dan bermasa depan cerah.
“Percayalah Bu Sulastri, Faris sangat yakin memilih ibu, Faris mencari wanita yang shalihah dan berakhalak mulia, menurut Faris Ibu cantik luar dan dalam, bahkan ia menyuruh saya datang menemui ibu dan menanyakan apakah Ibu bersedia menerima Faris?”
Ibu Istari n=menjelaskan dengan penuh keyakinan dan masih menyebut ibu seperti disekolah. Aku disebut cantik, benarkah??? Aku jadi merassa sangat malu. Wajahku memerah, aku tersipu malu.
“Bagaimana mungkin orang seperti aku pantas untuk mendampingi beliau.” Ucapku pada Bu Istari masih tetap dengan nada tidak percaya.
“Saya yakin kamu pantas untuk Faris,” ucap bu Istari lebih meyakinkan.
“Bagaimana kalau saya diberi waktu untuk berpikir bu?” ucapku sambil terus berpikir apakah ini mimpi atau kenyataan. Antara ragu dan bimbang aku harus memutuskan.
“Baiklah Bu, bagaimana kalau dua minggu karena Faris akan bertolak ke Belanda dan ia ingin segera jawaban dari ibu.” Kata Ibu Istari.
“Insya Allah bu karena hal ini akan saya bicarakan dengan orangtua saya dulu.”
“Baiklah BU, saya tunggu jawaban dari ibu, insya Allah nanti saya datang lagi kesini bersama suami saya.”
Tak lama kemudian Bu Istari pun pamit pulang, aku masih terpaku. Dua minggu kemudian Bu Istari datang kembali ke rumahku, ditemani  oleh suaminya, Pak Haris. Mereka berkenalan dengan orang tuaku dan saat itu akupun menyatakan kesediaanku untuk menerima Mas Faris. Tentu saja setelah aku melakukan shalat istikharah dan shalat tahajud.
Pada Bulan September 2002 Mas Faris dan keluarganya datang kerumah orang tuaku untuk melamarku secara resmi dan pada tanggal 10 November 2002 kami melangsungkan pernikahan.

♫♫♫♫

“Kring.. kring.. kring... “ telepon dikamarku berdering, dengan bantuan suster aku menjawab telepon itu, aku sangat berharap telepon itu dari suamiku, ternyata benar dugaanku, telepon itu berasal dari suamiku tercinta.
                Terdengar suara diseberang sana, “Lastri aku sudah menyiapkan nama untuk bayi kita” ku beri nama Puteri Fauziah, apakah kamu setuju?” tanyanya.
“Bagaimana  Mas saja , aku setuju saja, “ jawabku datar.
                Setelah itu telepon putus begitu saja . Aku hanya menghela nafas panjang-panjang.
“Ada apa sih Mas... Tingkah kamu koq aneh banget,” aku mulai bersuudzon. Astaghfirullah. A ku beristighfar mohon ampun pada Allah, tidak sepantasnya aku berprasangak buruk pada suamiku sendiri.
                Esok hari aku pun pulang kerumah, saat pulang dari rumah sakit, suamiku tidak menjemput aku dan bayiku. Kami hanya dijemput oleh supir kami Mang Husen dan istrinya bi Iceu yang sudaah sepuh. Aku begitu sedih , tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku dan jatuh membasahi kerudung biru kesayanganku. Tiba- tiba bayiku menangis, rupanmya air mataku membasahi wajahnya yang sedang tertidur. Mobil pun melaju menuju rumah kami di perumahan mewah di Bogor. Ternyata mobil Jaguar seri terbaru tidak membuatku bahagia. Setibanya di rumah, sungguh diluar dugaan seluruh keluarga menyambutku dengan meriah, seluruh keluarga besar dari pihak keluargaku dan keluarga suami berkumpul , “Andaikan saat ini ayah dan ibu Mas Faris masih ada, tentu mereka akan sangat bahagia melihat cucu mereka “Gumamku” . Semoga Allah menerima amal ibadah mereka. Amin.
                Semua orang dirumahku menyambut kedatanganku dan anggota baru mereka dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran, tak lupa puluhan anak yatim berkumpul dan yang tak pernah kuduga sebelumnya grup nasyid kesukaanku bersenandung melantunkan lagu favoritku.
Dalam hati aku bertanya, “ulah siapa ini?”
“Ahlan wa sahlan bidadari-bidadariku.”
Jantungku seakan melompat keluar tatkala kudengar suara merdu itu.
“Mas Faris” pekikku hampir tidak percaya.
Ditengah-tengah ruangan yang luas dan indah telah berdiri seorang yang begitu kukenal sedang tersenyum, senyumnya sangat indah bak bulan purnama di malam hari, matanya yang tajam namun syahdu terus menatapku. Aku bagaikan tersihir. Aku diam ternganga melihat begitu sempurnanya suamiku, tak terlintas dalam pikiranku apa jadinya aku tanpa suamiku yang sangat baik hati, penyayang dan tampan rupawan, begitu sempurnanya ciptaan Allah.
“Subhanallah, Allah yang telah  menciptakan dia untukku, untuk  seoarang Lastri yang sederhana.” hatiku berkata.
“Ya Allah aku mencintainya karena Mu, Alhamdulillah ya Allah” aku berkata berkata dalam hati sambil terus menatapnya.
Suamiku kemudian mendekat, aku terdiam tak bergerak. Ia memegang tanganku dengan penuh kelembutan kemudian ia menggendong bayi kami yang kami beri nama Puteri Fauziah dan dengan bangganya beliau memperkenalkan bayi kami kepada seluruh hadirin yang hadir. Terlihat diwajahnya kenahagiaan yang tak terkira, kebahagiaan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
                Aku  merasa  bersalah sudah berburuk sangka pada beliau. Kemudian dengan bangga Mas Faris mengajakku  untuk  melihat  kamar bayi   kami dilantai dua, sungguh di luar dugaan kamar bayi sangat indah dan aku  mendengar  dari ibu bahwa  dari kemaren Mas Faris lah  yang  menyiapkan  semuanya seorang  diri. Ya, seorang diri, tanpa  bantuan dari siapapun  bahkan Bi Iceu , aku  kembali  merasa bersalah.
“Lastri, aku bahagia, tidak  apa-apa  kau  melahirkaan  anak  perempuan”
“Benarkah Mas?” ucapku.
Beliau  mengangguk.  Kulihat  ketulusan  diwajahnya.  Aku  sangat  lega  mendengarnya.

♫♫♫♫

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan penuh kebahagiaan. Tak terasa usia Fauziah kini sudah 3 tahun. Fauziah sedang lucu-lucunya dari hari ke hari sifat Mas Faris semakin bertambah baik bahkan menurutku sangat berlebihan. Beliau selalu menghadiahkan perhiasan mewah dan memanjakan Zia, panggilan sayang anak kami Fauziah dengan fasilitas serba mewah mulai dari makanan, pakaian dan mainan, aku selalu mengingatkan beliau untuk tidak berlebihan terhadap kami namun beliau hanya tersenyum dan tersenyum.
                Aku merasa sangat malu karena disaat orang lain sedang kesusahan dalam hal materi, suamiku malah berlaku seperti ini. Saat aku mengatakan hal ini kepada Mas Faris, beliau berkata, membahagiakan istri dan anak adalah ibadah, terkait dengan sedekah, zakat dan infak semua Insya Allah sudah beliau penuhi secara syariat Islam. Sungguh lega aku mendengarnya. Selain membahagiakan kami berdua secara over load, ada satu hal yang menurutku ganjil, akhir-akhir ini Mas Faris sering pergi ke luar negeri dan yang membuat aku bingung, negara yang beliau kunjungi adalah negara yang sama, yaitu Singapura padahal setahuku rekan bisnis Mas Faris tidak hanya di Singapura saja. Aku merasa heran karena beliau pergi kesana hampir setiap bulan dan itu sudah terjadi sejak 6 bulan yang lalu. Ketika ku hitung-hitung sudah 6 kali Mas Faris pulang pergi Singapura. Ada apa dengan Singapura?
                Aku mulai curiga jangan-jangan ada sesuatu hal yang belum aku ketahui. Sebenarnya aku tidak mau suudzon terhadap beliau, ku yakinkan dalam hatiku bahwa suamiku sedang bisnis dengan mitranya di luar negeri. Namun setan seakan-akan terus menggodaku untuk berburuk sangka. Akhirnya aku beristighfar. Astaghfirullahhal adzim.

♫♫♫♫

Di Senin pagi yang cerah, seperti biasa aku suguhkan kopi luwak kesukaan beliau. Sambil kuletakkan kopi di meja makan, ku beranikan untuk bertanya kepada beliau tentang rencananya yang akan pergi ke Singapura. Ya, kali ini yang ketujuh kalinya beliau kesana.
“Mas, apakah hari ini jadi ke Singapura?” tanyaku dengan suara lembut.
“Enak sekali kopi buatanmu Lastri,” Mas Faris malah memuji kopi buatanku seakan-akan beliau tidak mendengar ucapanku.
“Mas, jadi ke Singapura hari ini?” aku mengulangi pertanyaanku, kali ini agak keras supaya terdengar di telinga beliau.
“O.. iya, iya insya Allah jadi, berangkatnya nanti sore, memangnya Lastri mau dibawakan oleh-oleh apa?” beliau menjawab pertanyaanku sambil menyeruput kopi dan matanya tidak lepas dari koran yang sedang di bacanya.
“Aku tidak mau oleh-oleh Mas,” jawabku agak ketus.
“Oke tidak apa-apa , nanti aku belikan untuk Zia saja bagaimana?” kali ini beliau mulai menatapku sambil tersenyum dan meletakkan korannya diatas meja. Rupanya beliau tahu aku sedang marah, aku luluh jika beliau tersenyum, hal itulah yang membuatku mencintainya, beliau selalu berkata lembut dan tersenyum, lagi- lagi tersenyum. Apakah seumur hidupnya tidak pernah marah. Aku pura-pura marah.
“Terserah saja.....” aku mulai cemberut.
“Lho koq cemberut? Nanti tidak cantik lagi lho,” beliau mencoba menggodaku, namun aku diam saja. Segera aku meninggalkan meja makan dan menggendong Zia, kudengar beliau tertawa kecil. S uamiku itu memang tidak pernah marah. Tak lama kemudian, beliau pamitan untuk pergi ke kantor. Seperti biasa, kuantar beliau sampai diteras sambil kugendong Zia, lalu kucium punggung tangan beliau.
Mas Faris jadi pergi ke Singapura Senin sore ini, beliau memberitahuku lewat SMS, isi pesannya sangat singkat, berisi tentang jadwal keberangkatannya dan amanah agar menjaga Zia, itu saja.
                Malam hari sekitar pukul 03.00 dini hari aku terbangun, Singapura, tiba-tiba timbul rasa iri terhadap nama negara itu seakan-akan istri keduaa Mas Faris.
“Ada apa dengan Singapura?” aku mulai bertanya dalam hati “ Jangan-jangan ada sesuatu hal yang Mas Faris sembunyikan dariku?” ku tepis jauh-jauh prasangka itu. Aku pun mulai mengambil air wudhu, lalu kuambil mukena pemberian Mas Faris ketika akad nikah dulu. Kutenangkan jiwaku dengan berserah diri kepada Allah. Kulantunkan doa-doaku untuk keselamatan Mas Faris. Apakah aku terlalu posesif terhadap Mas Faris. Entahlah, yang kutahu selama ini adalah Mas Faris orang yang baik dan rajin beribadah.
♫♫♫♫

Sudah satu minggu Mas Faris di Singapura dan kami hanya berkomunikasi lewat SMS saja karena aku khawatir mengganggu Mas Faris. Tiba-tiba terdengar bunyi HP berdering, saat kuangkat, terdengar suara dari seberaang sana. Aku melonjak bahagia, telepon itu dari Mas Faris yang memberitahuku bahwa minggu siang ini, Mas Faris pulang dari Singapura. Ku peluk Zia dan kukatakan padanya  bahwa ayahnya akan pulang. Zia tersenyum. Aku lihat kebahagiaan dimatanya.
                Mas Faris akhirnya tiba di bandara Soekarno Hatta, sengaja aku datang menjemputnya tanpa ditemani Zia. Aku memakai baju kesukaan Mas Faris, yaitu gamis biru yang indah dan anggun, lengkap dengan kerudung biru muda yang senada, ketika Mas Faris melihatku, Mas Faris sangat menyukainya terlebih warna biru merupakan warna kesukaannya.
“Subhanallah, kau cantik sekali,” ucapnya sambil tersenyum. Aku pun tersipu malu. Kusambut kedatangan Mas Faris dengan perasaan gembira dan kucium punggung tangan beliau.
“Ahlan wa sahlan, kaifa Haluk? ( selamat datang, apa kabar?)” ucapku sambil membalas senyumannya.
“Alhamdulillah Anna bi khoir, Mana Zia?” beliau menanyakan anak kami karena beliau melihatku sendiri dan kujelaskan padanya bahwa Zia kutitipkan pada ibu dirumah.
“Bagaimana Singapura?” tanyaku basa- basi.
“Merlion masih seperti dulu, dia baik-baik saja.” Jawabnya bercanda. Kucubit lengannya keras-keras. Beliau pura-pura kesakitan. Akhirnya kamipun tertawa.
“Ada kejutan apa?” tanyanya pura-pura bingung.
“Surprise...” kataku sambil menggandeng lengannya. Kurasakan lengannya bertambah kurus, matanya terlihat lelah dan kulitnya sedikit pucat. Mungkin Mas Faris kecapean. Tak terlintas curiga dihatiku.
“Mas, kita makan direstoran yuk?” ajakku kepadanya karena kebetulan aku belum makan siang. Perutku mulai bernyanyi lagu “keroncongan”.
“Kamu yang traktir?” tanyanya dengan wajah pura-pura bingung.
“ Tentu saja Mas dong ! You are the boss !” kataku sok english.
“Oke , ke restoran mana?” ajaknya.
“Terserah Mas saja.”
Akhirnya kami pun mampir ke restoran mewah berlabel halal. Walaupun Mas Faris seorang pengusaha sukses yang memiliki banyak teman di luar negeri, Mas Faris tetap berprinsip memakan makanan yang halal karena dengan memakan makanan yang halal akan mempengaruhi pribadi seseorang dan setahuku Mas Faris tidak pernah makan makanan haram dan minum-minuman keras, dan selalu menolak dengan lembut sampanye, apabila diundang pesta oleh koleganya.
                Aku benar-benar bangga padanya. Saat aku duduk berhadapan dengannya kucoba bertanya tentang Singapura lagi dan alasan beliau pergi kesana. Mas Faris tersenyum dan menatapku dalam-dalam. Ajaib,, senyuman maut beliau ternyata telah mampu membuat aku lupa apa yang ingin aku tanyakan . Ya..... aku lupa hendak bertanya apa, pesona  beliau membuatku selalu jatuh cinta hampir setiap hari.  Di restoran Mas Faris memberiku cincin berlian sebagai oleh-oleh untukku padahal aku tidak memintanya. Dengan lembut beliau memakaikannya di jari manisku.
“Terima kasih.” Ucapku sambil tersenyum.
“Sama-sama” jawabnya lembut, selembut es krim yang kami makan sebagai dessert.  Setelah makan kami pun pulang. Rencanaku untuk menginterograsi beliau gatot alias gagal total. Hari sudah beranjak sore, kami pun pulang kerumah.

♫♫♫♫

Pagi itu seperti biasa Mas Faris pergi kekantor, semua berjalan normal seperti biasa. Masih dengan senyum khasnya beliau pamitan pergi ke kantor namun ada hal yang sedikit aneh, wajahnya pucat, bibirnya merah dan pecah-pecah, keringat dingin mengucur dari dahinya dan tangan beliau sedikit dingin. “ Mas, apakah mas sakit?” ucapku sambil kuletakkan tanganku di dahinya.
“ Aku tidak apa-apa,” ucapnya lirih.
“Maafkan Mas Faris, Lastri, maafkan atas segala kesalahan”  kembali beliau berucap sambil menatapku lekat-lekat.
“Mas tidak salah ... aku yang salah Mas...”
“Kau istri terbaik Lastri, sungguh beruntung aku memilihmu.”
Tak lama kemudian beliau pun berangkat kekantor. Tidak seperti biasanya beliau melambaikan tangan. Ya beliau melambaikan tangan kepadaku dan Zia sambil tersenyum. Kali ini senyumnya sangat aneh.

♫♫♫♫

Deg ! Jantungku berdebar. Aku sangat kaget.  Bagaikan disambar petir disiang bolong,  aku mendengar kabar dari Ibu Istari melalui telepon, bahwa Mas Faris terkena serangan jantung saat tiba dikantor dan sekarang sedang koma di rumah sakit , Mas Faris menderita penyakit yang sama dengan keponakannya, yaitu lemah jantung. Aku segera berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku menangis. Hatiku berdebar tidak karuan. Saat tiba dirumah sakit, Bu Istari langsung menemuiku.
“Lastri.....”  Bu Istari memelukku sambil menangis.
“Bagaimana keadaannya, apakah beliau baik-baik saja?”  ucapku kelu, hatiku berdebar, tanganku dingin sedingin es.
“Dokter masih berusaha, tetap pasrah ya Lastri.” Ucapnya sambil mengelus punggungku dan memelukku. Mas Faris sekarang ada di UGD sedang ditangani dokter ahli.
“Apa yang terjadi?”  aku berkata pelan.
“Lastri, maafkan ibu, sebelum ke Singapura, Faris bercerita bahwa ia sedang sakit dan berobat ke Singapura untuk mengobati penyakitnya.” Bu Istari menjelaskan, “Awalnya Ibu tidak tahu, Faris tidak pernah cerita.”
Aku hanya terdiam.
“Lastri,” Bu Istari memanggil namaku.
Aku tertunduk dan tidak mendengar Bu Istari, dan tak terasa air mata mengalir lagi jatuh di pipiku, Kullu nafsin dzaikottun maut. Setiap yang bernyawa pasti mati. Aku pasrah kepada Allah atas semua takdirku. Tiba-tiba bu Istari memberikan kotak berwarna merah marun kepadaku. Di dalamnya berisi surat-surat berharga, resep dokter, dan hasil tes dari Singapura dari Mas Faris.  Dan mataku tertuju pada satu surat yang ditulis pada hari pernikahanku tiga tahun yang lalu , aku penasaran, lalu surat itu pun kubuka dan kubaca.




Sabtu,  10 November  2002

Yang tercinta istriku

Assalamualaikum wr wb
Istriku yang sholehah

     Maafkan suamimu ini yang begitu mencintaimu karena Allah.
     Mendapatkan istri sepertimu adalah anugerah terbesar dalam hidupku, Alhamdulillah Allah telah menghadiahkan engkau untukku, hadiah yang sungguh indah.
     Istriku...
     Engkau ibarat rembulan yang indah yang menyinari malam-malamku. Begitu inginnya aku membahagiakanmu, begitu bahagianya aku mendapatkanmu. Menagsihimu, menjagamu dan menyayangimu sampai tua adalah  impianku.
     Namun....
     Tak  sepantasnya aku berandai-andai. Jika tiba waktuku ku mohon maafkan segala kesalahanku, maafkan segala kekhilafanku dan memaafkan segala kekurangannku.
     Istriku.....
     Kau begitu menyejukkan, kau selalu memberi aku dukungan. Kau ibarat bunga yang senantiasa menghiasi taman hatiku. Senyummu bagaikan embun dipagi hari . Semoga Allah senantiasa menjagamu, melindungimu. Dan terimalah persembahanku yang terdalam, yaitu rasa terima kasih atas kesedianmu menerimaku, juga maaf yang sebesar-besarnya karena sehari sebelum pernikahan kita . Berdasarkan hasil cek di Singapura umurku hanya 3 bulan saja.
     Namun, jika Allah berkehendak umurku lebih dari 3 bulan aku akan membahagiakanmu lebih bahkan lebih.
     Istriku.....
     Aku mendapatkan hasil bahwa aku menderita penyakit yang sama dengan Yuyu dan keluargaku tidak tahu penderitaanku ini, bahkan kak Istari, kakakku.
     Aku sengaja menyembunyikannya darimu karena aku takut kau menolakku. Sungguh.... saat itu aku sangat takut kehilanganmu. Aku tak kuasa bila kau membatalkan pernikahan kita.
     Aku..... begitu takut dan pengecut... untuk mengaku padamu bahkan sampai akhir hidupku. Aku memang salah, aku sangat ingin berterus terang... Aku benar-benar tak menyangka.... sungguh tak menduga. Aku tak sepantasnya berbuat seperti ini. Karena bisa saja aku membatalkan pernikahan kita. Tapi aku tidak bisa karena aku sangat mencintaimu karena Allah dan ingin  mendapat keturunaan yang baik yang akan mendoakan aku kelak.
     Lasrti, apakah aku salah...........??
     Maafkan  aku, mungkin aku egois.... ya amat egois...
     Istriku.....
     Tanpa sepengetahuanmu aku dirikan yayasan anak yatim piatu seperti keinginanmu. Karena aku tahu cita-citamu adalah memiliki yayasan yatim piatu. Semoga hartaku dapat bermanfaat. Semoga kita bertemu di Surga Nya... Aminn...


Suamimu Tercinta

Faris Hermawan Brantio



Setelah aku membaca suratnya, aku pun menangis karena begitu banyak perasaan yang berkecamuk dalam hatiku, sedih , kesal, bahagia, menyesal, haru menjadi satu. Aku sedih, kesal, dan menyesal karena belum maksimal membahagiakannya dan bahagia karena cintanya yang begitu dalam terhadapku dan rasa sosialnya begitu tinggi.
                Aku pun sangat mencintainya bukan karena harta kekayaannya yang melimpah tetapi karena hatinya yang kaya. Pernah terlintas dalam pikiranku aku tak mau kehilangannya. Namun aku sadar ini ujian dari Allah. Cinta sejati kita bukan pada manusia tetapi hanya pada Allah semata. Tak lama kemudian aku tertidur tepatnya aku pingsan. Dalam mimpiku aku melihat  Mas Faris sembuh. Aku begitu bahagia, ia sangat berbeda. Wajahnya lebih bersinar cerah.. Ku panggil namanya, tapi ia tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan tersenyum, kemudian dia meninggalkan aku. Aku berteriak memanggil namanya namun sia-sia. Mas Faris semakin pergi manjauh, jauh.
                Saat aku terbangun. Sekelilingku terisak. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun Mas Faris sudah tiada. Nyawanya tidak tertolong. Dokter hanya manusia dan sudah berusaha. Air mataku jatuh membentuk butiran-butiran kristal bening. Aku pasrah dan tawakal. Aku tidak menyalahkan siapapun. Semua ini adalah takdirku. Selamat jalan matahariku. Semoga kita bisa berkumpul di surga Nya. Amin...

Powered by Blogger.